Topeng Ireng merupakan salah satu kesenian tradisional yang paling menonjol di wilayah Magelang dan sekitarnya, termasuk Banyuroto. Tarian ini dikenal lewat gerakan yang energik, hentakan kaki yang kompak, serta kostum mencolok yang terinspirasi dari penampilan suku Indian terutama pada bagian hiasan kepala. Musik pengiringnya biasanya rancak dan menghentak, membangkitkan semangat baik bagi penari maupun penonton.
Di balik tampilan visualnya yang meriah, Topeng Ireng memiliki akar sejarah yang dalam. Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, kesenian ini berasal dari kehidupan para murid Pangeran Diponegoro yang memilih hidup menyepi di hutan rimba setelah masa peperangan. Dari kehidupan spiritual dan keterasingan tersebut, muncul bentuk ekspresi seni yang kemudian berkembang menjadi pertunjukan Topeng Ireng seperti yang dikenal sekarang.
Hingga kini, Topeng Ireng tetap hidup dan aktif dipentaskan di berbagai dusun di Banyuroto, masing-masing dengan kelompok seni yang menaunginya:
Dusun Banyuroto memiliki kelompok Ponco Kawedar,
Dusun Sobleman menaungi kesenian ini melalui paguyuban Tirta Rimba,
Dusun Grintingan memiliki kelompok Warga Karya Manunggal (WKM)
Dusun Garon dikenal dengan kelompok Sekar Wangi, yang secara rutin tampil di berbagai acara hajatan maupun undangan dari luar desa.
Dusun Suwanting mengembangkan Topeng Ireng dalam kelompok bernama Abirama, sebagai bagian dari regenerasi seni lokal.
Dusun Kenayan memiliki kelompok Karya Rimba, yang membawakan tiga varian khas Topeng Ireng lokal: Dayakan, Mondolan, dan Trundud,
Penyebaran yang luas dan partisipasi aktif masyarakat, baik tua maupun muda, menunjukkan bahwa Topeng Ireng bukan sekadar hiburan, melainkan juga simbol identitas, semangat, dan kontinuitas budaya yang mengakar kuat di Banyuroto.
Soreng adalah salah satu tari tradisional yang menggambarkan semangat keprajuritan masa lampau. Kesenian ini menampilkan karakter prajurit kerajaan dengan gerakan tegas dan gagah, menggambarkan barisan pasukan yang sedang bersiap di medan perang. Kostum yang digunakan pun khas: busana prajurit lengkap dan hiasan kepala yang memperkuat kesan heroik. Soreng diyakini terinspirasi dari kisah pasukan Kerajaan Pajang, menjadikannya tidak hanya sebagai bentuk hiburan, tetapi juga sarana pewarisan nilai-nilai keberanian dan patriotisme.
Di Banyuroto, Soreng menjadi salah satu kesenian yang tumbuh subur dan tetap lestari berkat peran aktif masyarakat serta kelompok-kelompok seni yang menaunginya. Beberapa dusun yang hingga kini masih aktif melestarikan kesenian Soreng adalah:
Dusun Sobleman, melalui Paguyuban Wahyu Turonggoseto, menjadikan Soreng sebagai bagian penting dalam aktivitas seni mereka, sering dipentaskan dalam acara-acara adat maupun hajatan warga.
Dusun Grintingan juga mempertahankan eksistensi Soreng, dengan partisipasi yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari anak muda hingga orang tua.
Dusun Garon dikenal memiliki kelompok Winoto Budoyo yang secara khusus membawakan tari Soreng dengan kekuatan formasi dan gerak yang tetap mempertahankan ciri khas klasiknya.
Kehadiran Soreng di tiga dusun ini menunjukkan bahwa semangat keprajuritan masa lalu masih hidup dalam gerak dan irama. Tidak hanya menjadi pertunjukan seni, Soreng juga menjadi ruang edukasi budaya yang mempertemukan nilai sejarah, seni gerak, dan identitas lokal masyarakat Banyuroto.
Janthilan merupakan salah satu bentuk seni tari rakyat yang paling dikenal dan diminati di Jawa Tengah. Tarian ini menggambarkan barisan pasukan berkuda, biasanya menggunakan kuda tiruan dari anyaman bambu sebagai properti utama. Ciri khas Janthilan terletak pada gerakannya yang lincah dan dinamis, disertai iringan musik gamelan yang cepat dan menghentak. Dalam beberapa pertunjukan, Janthilan juga menghadirkan adegan trance atau kesurupan, yang menjadi bagian dari kekuatan magis dan spiritual dalam tarian ini.
Kesenian Janthilan tidak hanya bertumpu pada bentuk klasiknya. Dalam perkembangannya, Janthilan juga dikemas dalam bentuk kreasi modern yang memadukan unsur dangdut, kostum yang lebih variatif, serta narasi yang lebih fleksibel dan bisa disesuaikan dengan tema pertunjukan.
Di wilayah Banyuroto, Janthilan masih eksis dan dilestarikan oleh beberapa kelompok seni di berbagai dusun:
Dusun Sobleman memiliki Paguyuban Wahyu Turonggoseto, yang aktif menampilkan Jathilan dalam berbagai event, baik berskala lokal maupun regional.
Dusun Kenayan menjadi salah satu pusat perkembangan Jathilan di Banyuroto, dengan empat kelompok aktif yang mengembangkan berbagai gaya Jathilan, mulai dari yang klasik hingga versi kreasi dangdut. Salah satu kelompok yang paling menonjol adalah Blendrongan, yang unik karena dimainkan oleh para sesepuh atau orang tua dan belum mampu ditiru sepenuhnya oleh generasi muda.
Melalui tarian Janthilan, masyarakat Banyuroto tak hanya menampilkan hiburan tradisional, tetapi juga mempertahankan semangat kolektif, kekayaan simbolik, dan kekuatan spiritual yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Kesenian ini terus hidup dan berkembang, menjadi ruang ekspresi yang menyatukan sejarah, kepercayaan, dan kreativitas dalam satu pertunjukan yang penuh energi.
Kuda Lumping adalah salah satu tarian tradisional Jawa yang sarat akan kekuatan simbolik dan spiritual. Tarian ini menampilkan penari-penari yang menunggangi kuda tiruan berbahan anyaman bambu dikenal dengan sebutan jaran kepang sambil meliuk-liuk mengikuti irama gamelan cepat dan menghentak. Dalam banyak pertunjukan, penari kuda lumping juga mengalami trance atau kesurupan, yang dianggap sebagai bagian dari kekuatan magis dan ritual yang menyatu dalam seni pertunjukan ini.
Meskipun memiliki kemiripan dengan Jathilan, Kuda Lumping biasanya menonjolkan gaya lokal yang lebih kuat, baik dari sisi ritme musik, formasi tari, maupun narasi yang disampaikan. Keunikan ini membuat Kuda Lumping tetap memiliki tempat istimewa di hati masyarakat, terutama dalam upacara adat, hajatan, hingga pertunjukan budaya lintas desa.
Di wilayah Banyuroto, Kuda Lumping masih menjadi salah satu kesenian yang hidup dan berkembang, dengan dukungan dari berbagai kelompok seni di beberapa dusun:
Dusun Banyuroto memiliki kelompok Ronngo Sekar Wijoyo, yang dikenal aktif menampilkan Kuda Lumping dalam berbagai acara lokal.
Dusun Sobleman menaungi Kuda Lumping melalui Paguyuban Sayekti Budaya, yang juga membawakan kesenian lain seperti Buto Gedruk dan Warok.
Dusun Grintingan turut menjaga eksistensi Kuda Lumping sebagai bagian dari warisan budaya desa, meski tidak tercatat secara formal dalam kelompok tertentu.
Dusun Suwanting juga memiliki pertunjukan Kuda Lumping yang aktif, dengan kesiapan penari yang tinggal menunggu pengiring musik untuk latihan dan tampil.
Kesenian Kuda Lumping di Banyuroto mencerminkan semangat masyarakat dalam merawat tradisi. Melalui hentakan kaki, irama kendang, dan tarian di atas kuda anyaman, seni ini terus menjadi wadah ekspresi, pelestarian budaya, sekaligus ruang kebersamaan lintas generasi.
Grasak adalah bentuk kesenian tari kreasi lokal yang lahir dari semangat ekspresif masyarakat pedesaan. Ciri utama dari tarian ini adalah gerakannya yang bebas, liar, dan menghentak sering disebut sebagai gerakan “sak-sak e”, istilah lokal yang menggambarkan ledakan energi tanpa pola baku. Tarian ini tidak terikat pada pakem-pakem klasik, menjadikannya ruang yang luas bagi eksplorasi, ekspresi, dan interpretasi bebas dari para penarinya.
Dalam beberapa wilayah, bentuk Grasak menyerupai Buto Gedruk tari bertopeng yang menggambarkan sosok monster atau raksasa (buto) dengan karakter kuat dan agresif. Kostum yang digunakan pun biasanya mencolok: penuh warna, topeng besar, dan aksesoris yang menambah kesan garang serta megah. Meski berangkat dari bentuk kreasi, kesenian ini memuat simbol perlawanan, kekuatan alam, dan dinamika sosial yang dihadirkan secara teatrikal.
Di Banyuroto, Grasak berkembang dengan ciri khas masing-masing di beberapa dusun:
Dusun Banyuroto dikenal sebagai salah satu tempat lahirnya versi lokal Grasak yang disebut Banteng Wareng. Kelompok ini berdiri secara mandiri dan menjadi representasi kebanggaan masyarakat setempat dalam menciptakan kesenian baru yang berakar dari tradisi.
Dusun Sobleman, melalui Paguyuban Sayekti Budaya, juga mementaskan bentuk tarian serupa. Mereka memadukan Grasak dengan elemen lain seperti Kuda Lumping dan Warok, menciptakan pertunjukan yang kaya akan visual dan semangat kolektif.
Grasak bukan hanya pertunjukan tari, melainkan perayaan energi, kebebasan, dan identitas lokal yang terus berkembang. Di tengah pesatnya arus modernisasi, kehadiran kesenian seperti ini membuktikan bahwa kreativitas masyarakat desa tetap tumbuh mengakar pada budaya, namun terbuka pada bentuk baru yang lebih segar dan ekspresif.
Warok adalah figur legendaris dalam kesenian Reog Ponorogo sosok kesatria berjubah hitam yang dikenal tangguh, berani, dan memiliki kekuatan spiritual tinggi. Dalam budaya Jawa, Warok tidak hanya dipandang sebagai karakter pertunjukan, tetapi juga sebagai simbol penjaga nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keberanian, dan keteguhan hati.
Menariknya, di beberapa dusun wilayah Banyuroto, sosok Warok berkembang menjadi bentuk tari tersendiri. Tidak lagi sekadar pelengkap dalam Reog, kini Warok tampil mandiri dalam pertunjukan yang menekankan kekuatan gestur, pakaian khas berwarna gelap, serta aura kepahlawanan yang kuat. Gerakan tari Warok biasanya gagah, tegas, dan berulang mewakili keteguhan karakter yang dijunjung oleh tokohnya.
Penyebaran tarian Warok di Banyuroto cukup merata, dibawakan oleh berbagai kelompok seni di beberapa dusun berikut:
Dusun Sobleman, melalui Paguyuban Sayekti Budaya, menghidupkan karakter Warok dalam rangkaian pertunjukan yang juga mencakup Kuda Lumping dan Buto Gedruk.
Dusun Grintingan Memiliki nama kelompok Warga Karya Manunggal
Dusun Suwanting juga menghadirkan pertunjukan Warok, dengan penari yang sudah terlatih dan siap tampil, menunggu iringan musik sebagai pendukung utama.
Dusun Garon i
Dusun Kenayan menampilkan karakter Warok dalam beberapa versi, disesuaikan dengan variasi gaya tari di masing-masing kelompok.
Dengan berkembangnya Warok sebagai tarian tersendiri, masyarakat Banyuroto menunjukkan kemampuan mereka dalam memelihara sekaligus mengembangkan seni tradisional. Warok tidak hanya hidup dalam cerita atau simbol, tetapi juga menari gagah di tengah panggung budaya desa mengajarkan makna keberanian dan keteguhan dalam balutan estetika lokal yang dinamis.
Rampak Kuto
Rampak Kuto adalah seni tari topeng yang menonjolkan kekuatan, kekompakan, dan semangat dalam gerak. Terinspirasi dari tradisi Buto asal Selo, Boyolali, Rampak Kuto menghadirkan penampilan penuh energi melalui koreografi kelompok yang serempak dan dinamis. Dengan menggunakan topeng Buto simbol makhluk raksasa dalam mitologi Jawa tarian ini mencerminkan kegagahan dan keberanian, sekaligus menjadi bentuk perlawanan simbolik terhadap kekuatan negatif.
Ciri khas Rampak Kuto terletak pada hentakan kaki yang kompak dan gerakan tubuh yang tegas, menciptakan suasana dramatis dan penuh semangat. Tarian ini biasanya dibawakan secara massal, menekankan harmoni dalam kekuatan kolektif. Penonton tidak hanya menyaksikan pertunjukan, tetapi turut merasakan getaran energi yang ditransmisikan lewat gerak, iringan musik, dan teriakan-teriakan penyemangat.
Di wilayah Banyuroto, Rampak Kuto dikembangkan dan dipentaskan oleh Kelompok Cikrak dari Dusun Banyuroto. Kelompok ini menjadi pelopor dalam memperkenalkan tarian khas tersebut sebagai bagian dari identitas seni lokal. Meski berakar dari luar daerah, Rampak Kuto diadaptasi dengan gaya dan nilai yang sesuai dengan konteks budaya Banyuroto menunjukkan keterbukaan masyarakat terhadap bentuk seni baru sekaligus kemampuan mereka dalam mengolah dan menyesuaikannya secara kreatif.
Hadirnya Rampak Kuto memperkaya keragaman kesenian di Banyuroto, serta menegaskan bahwa seni tradisi bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus tumbuh melalui semangat kolaborasi dan inovasi.
Cakalele
Cakalele adalah tarian perang tradisional yang berasal dari Maluku, dikenal sebagai simbol keberanian dan semangat perjuangan masyarakat kepulauan dalam menghadapi musuh. Tarian ini biasanya ditampilkan oleh para penari laki-laki dengan gerakan eksplosif, penuh semangat, dan dilengkapi dengan atribut senjata tradisional seperti parang dan tameng.
Meskipun berasal dari Indonesia bagian timur, Cakalele telah diadaptasi dan dikembangkan dalam bentuk tarian daerah di berbagai wilayah lain di Indonesia termasuk di Banyuroto, Magelang. Di wilayah ini, Cakalele tidak hanya dipahami sebagai warisan dari Maluku, tetapi juga sebagai sarana untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan semangat kolektif dalam menghadapi tantangan zaman.
Di Dusun Sobleman, tarian ini dilestarikan oleh Paguyuban Tirta Rimba, kelompok seni yang aktif dalam berbagai bentuk pertunjukan tradisional. Adaptasi Cakalele di Sobleman menggabungkan elemen gerak khas Maluku dengan sentuhan lokal, menciptakan gaya tarian yang unik namun tetap membawa roh perjuangan yang kuat. Penampilannya biasanya disertai dengan musik pengiring yang ritmis dan menghentak, menciptakan suasana penuh adrenalin dan kekompakan.
Kehadiran Cakalele di Banyuroto menunjukkan bagaimana kesenian lintas daerah bisa hidup berdampingan dan memberi warna baru dalam lanskap budaya lokal. Ia menjadi pengingat akan pentingnya keberanian, persatuan, dan semangat pantang menyerah nilai-nilai yang tetap relevan di masa kini.
Ketoprak
Ketoprak adalah seni pertunjukan rakyat tradisional Jawa yang memadukan dialog, tari, musik gamelan, dan nyanyian dalam satu panggung dramatik. Cerita yang diangkat dalam Ketoprak umumnya berasal dari kisah sejarah, legenda, atau pewayangan, sehingga sarat dengan nilai moral, budaya, dan filosofi kehidupan. Pertunjukan ini menjadi sarana hiburan sekaligus media edukasi bagi masyarakat luas.
Ciri khas dari Ketoprak terletak pada penggunaan bahasa Jawa dalam dialog, iringan gamelan yang memperkuat suasana, serta tata rias dan busana yang mendukung karakter tokoh. Para pemain tidak hanya dituntut untuk bisa berdialog secara ekspresif, tetapi juga menari dan menyanyi sesuai alur cerita, menjadikannya salah satu bentuk seni pertunjukan yang kompleks dan bernilai tinggi.
Di wilayah Banyuroto, Dusun Sobleman menjadi salah satu penjaga tradisi Ketoprak melalui Paguyuban Panca Bakti. Kelompok ini rutin menampilkan pertunjukan Ketoprak dalam berbagai acara desa maupun perayaan budaya, sekaligus menjadi wadah pelestarian bahasa dan nilai-nilai tradisi Jawa di tengah perkembangan zaman. Mereka tidak hanya mementaskan cerita-cerita klasik, tetapi juga mencoba membawakan kisah-kisah kontekstual yang dekat dengan kehidupan masyarakat masa kini.
Kehadiran Ketoprak di Banyuroto menjadi bukti bahwa seni pertunjukan tradisional masih memiliki ruang hidup dan relevansi. Ia menjadi jendela untuk memahami masa lalu, mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal, serta memperkuat identitas budaya masyarakat secara turun-temurun.
Tari Karya merupakan seni pertunjukan yang menggambarkan keseharian masyarakat agraris dengan penuh ekspresi dan nuansa lokal. Melalui gerak-gerak sederhana namun bermakna, tarian ini merepresentasikan aktivitas seperti mencangkul sawah, mengantar makanan ke ladang, memanen hasil bumi, hingga bekerja bersama dalam semangat gotong royong. Setiap elemen gerak mengandung nilai kebersamaan, kerja keras, dan penghormatan terhadap alam sebagai sumber penghidupan.
Tari ini tidak sekadar menjadi hiburan, melainkan juga bentuk dokumentasi budaya yang menyoroti bagaimana masyarakat pedesaan menjalin relasi dengan lingkungan serta sesama warga. Iringan musik pengiring biasanya gamelan atau alat musik tradisional sederhana menguatkan atmosfer khas pedesaan, menambah kedalaman makna dalam setiap penampilan.
Di wilayah Banyuroto, Dusun Kenayan menjadi satu-satunya dusun yang secara aktif melestarikan Tari Karya. Keberadaan tarian ini di Kenayan mencerminkan kepedulian masyarakat terhadap warisan budaya lokal dan keinginan untuk terus menghidupkan narasi kehidupan desa dalam bentuk seni pertunjukan. Tarian ini kerap ditampilkan dalam kegiatan desa, perayaan panen, hingga acara kebudayaan sebagai bentuk syukur dan perayaan atas kehidupan yang harmonis dengan alam.
Dengan hadirnya Tari Karya, identitas agraris masyarakat Banyuroto tidak hanya hidup dalam praktik sehari-hari, tetapi juga terpatri dalam ruang-ruang budaya yang lestari dan menginspirasi generasi muda.